“Relasi tanpa status mengundang rindu, walau rindu itu bukan untuk sesuatu yang dalam, tetapi lebih dalam dari sekadar curhat. Kedekatan sebagai pasangan curhat kadang bisa berujung fatal, tetapi kedekatan tanpa status selalu memancing rindu”.
Perjalanan panjang yang aku geluti seakan berlalu begitu cepat. Entah mengapa semua itu berlalu seakan terbawa angin badai. Ketika aku tersadar semuanya sudah hampir musnah. Tinggal kenangan bukanlah yang aku harapkan. Tetapi tetap ada bersama adalah harapan terdalamku. Tetapi untuk apa jika semua itu hanyalah sebuah relasi tanpa status? Bukankah itu hanya membuang-buang waktu? Itulah serangkaian kata tanya yang selalu mendengarkan kata-kataku akan relasi yang sedang kujalani.
Aku tidak peduli apa yang mereka katakan. Semua itu adalah realitas yang aku jumpai dan jalani dengan penuh kesadaran. Bukan karena aku sedang berada dalam tingkat ekstase yang paling tinggi, tetapi sedang berada dalam kesadaran yang paling tinggi. Aku menyadari bahwa relasi tanpa status membangkitkan kerinduanku dari titik nadir kehidupan ini. Sedangkan relasi yang bertolak dari status yang wajar sebagai pasangan curhat bisa berakibat fatal dan juga menimbulkan patah hati yang mendalam.
Ketika sampai pada refleksi ini, aku mulai terusik dengan relasi yang sedang aku geluti dengannya. Relasi kami berawal dari perjumpaan yang terjadi sebagaimana lasimnya. Tidak ada sesuatu yang spesial dari perjumpaan itu. Dia hadir sebagai bagian dari keluarga besar kami. Kehadirannya membawa sejuta keindahan di dalam kehidupan kami bersama.
Akan tetapi, perjumpaan itu di kemudian hari berujung pada sebuah relasi tanpa status yang membawaku pada perasaan rindu yang sangat mendalam. Bukan karena dia adalah “separuh aku” seperti yang dikatakan Ariel Noah, bukan juga “kembali pulang” seperti yang dikumandangkan group kangen band. Akhir dari perjumpaan ini adalah relai tanpa status yang memancing rindu antara dia dan aku.
Ia hadir sebagai sosok yang begitu mendorongku untuk selalu ada bersamanya. Keadaan itu timbul ketika kami berada di dalam spasi yang jauh. Entah mengapa selalu kerinduan yang memaningku untuk selalu bertanya tentang keadaannya. Walaupun dalam nada yang sama “bagaimana kabarnya”. Jawaban senada yang selalu aku peroleh “baik-baik saja” membuatku nyaman untuk saat itu, tetapi tidak untuk hari berikutnya.
Aku selalu bertanya hal yang sama, walaupun aku tahu pasti bahwa jawaban yang akan aku peroleh juga sama. Saat ada bersamanya adalah saat berahmat yang tidak ingin cepat berlalu begitu saja. Aku ingin sekali waktu terhenti saat itu. Tetapi waktu tidak akan pernah berhenti demi sebuah hubungan tanap status. Waktu pun tidak akan berhenti hanya karena hubungan yang bestatus. Waktu hanya akan terhenti ketika kedua insan tersebut tidak lagi berada di dalam waktu itu.
Aku selalu berada di ruang rindu seperti kata grup band Samson. Ruang inilah yang menjadi media penyatu hubungan kami. Bukan karena kami tidak dapat melakukan apa-apa, tetapi karena kami ingin menikmati ruangan ini.
Di sinilah kami memperoleh spasi untuk berimajinasi dan berekspresi sejauh yang kami mampu. Tidak dibatasi oleh siapapun dengan cara apapun. Kami sendirilah yang menjadi aktor utama dalam ruang ini. Walaupun ruang ini gelap tanpa cahaya, tetapi rindu yang terpancar dari wajah kami seakan melampaui gelapnya ruang ini.
Aku tersadar saat ini, ketika ruang ini mulai kosong. Bukan karena salah satu dari kami telah meninggalkannya, tetapi salah satu dari kami telah melangkah ke ruang yang lain. Realitas yang paling mendesakku untuk berpikir berkali-kali adalah realitas bahwa dia telah berpindah dari ruangan kami.
Ruangan yang telah kami bangun dalam relasi tanpa status mulai beralih kepada status yang berbeda. Bukan karena aku bosan dengan realitas kami, tetapi aku mulai bimbang, apakah dia masih setia berada di dalam ruang telah kami bangun.
Saat itu, ketika aku mendengar kabar tentangnya. Aku sangat terpukul dan tak mampu melakukan apa-apa. Tindakan dan perilakuku seakan kosong. Hampa tanpa suara, tetapi hati bergemuruh laksana angin taufan yang merusak segalanya. Aku tidak berdaya. Walau relasi kami tanpa status, tetapi justru relasi itulah yang memancing kerinduan kami satu per satu.
Aku membayangkan, ketika relasi kami berada dalam status yang lasim, maka pastinya kami akan saling menyakiti ketika salah satu dari kami mulai berpidah ke ruang yang lain. Tetapi karena tanpa status, kami saling merindukan walaupun, kami tidak lagi berada di dalam ruangan yang sama.
Aku terpukul. Pekerjaanku menumpuk, tetapi rindu ingin berjumpa seakan menggunung meski baru beberapa jam saja ia berlalu dariku. Aku tidak bisa terima, aku berada dalam titik nadir kehampaan. Hanya kekosongan dan jeritan pilu dari hati yang kudengar. Suara merdunya kini tiada.
Kata terakhir yang kudengar darinya hanya kata minta maaf. Untuk apa, apakah kamu tidak hanya meninggalkan ruang ini, tetapi juga meninggalkan rindu ini? Apakah semua yang kamu alami menghapus semua yang telah kita lalui. Akankah kamu membiarkan semuanya berlalu tanpa ada pesan yang tertinggal.
Aku sadar bahwa relasi kita tidak lasim di antara banyak pihak, tetapi bukankah relasi kita itu lasim di antara kita. Perjalanan ini kita yang lalui dan alami. Bukankah kita punya hak untuk itu?
Lalu mengapa begitu cepat kamu meninggalkan ruang rindu ini, ketika aku berusaha untuk mengenalmu semakin dalam. Aku berusaha untuk berbuat apa yang kumampu tetapi kemampuan itu tidak dapat membendung realitas kita. Kenyataan ini lebih kuat dibanding kemapuan kemanusiaanku.
Aku berharap kamu selalu berada di dalam ruang rindu ini. Bukan karena aku ingin kita beranjak menuju relasi yang berstatus, tetapi aku ingin menikmati relasi tanpa status ini dalam ruang rindu bersamamu.
Aku tidak ingin kita saling menyakiti, tetapi aku ingin kita selalu saling merindukan. Di dalam ruang rindu ini aku selalu menantikan kabarmu. Apakah kamu baik-baik saja? Harapanku begitu sederhana yakni sapaanmu setiap hari. Aku ingin mendengarkannya. Suaramu yang indah dan merdu. Tetapi semua itu masih akan terjadi? Aku tidak tahu. Mungkin waktu yang dapat menjawab semua itu, walaupun kita belum beranjak dari sang waktu.
Hanya kekosongan dan jeritan pilu dari hati yang kudengar. Suara merdunya kini tiada.
Kata terakhir yang kudengar darinya hanya kata minta maaf. Untuk apa, apakah kamu tidak hanya meninggalkan ruang ini, tetapi juga meninggalkan rindu ini? Apakah semua yang kamu alami menghapus semua yang telah kita lalui.
Akankah kamu membiarkan semuanya berlalu tanpa ada pesan yang tertinggal. Aku sadar bahwa relasi kita tidak lasim di antara banyak pihak, tetapi bukankah relasi kita itu lasim di antara kita. Perjalanan ini kita yang lalui dan alami. Bukankah kita punya hak untuk itu?
Lalu mengapa begitu cepat kamu meninggalkan ruang rindu ini, ketika aku berusaha untuk mengenalmu semakin dalam. Aku berusaha untuk berbuat apa yang kumampu tetapi kemampuan itu tidak dapat membendung realitas kita. Kenyataan ini lebih kuat dibanding kemapuan kemanusiaanku.
Aku berharap kamu selalu berada di dalam ruang rindu ini. Bukan karena aku ingin kita beranjak menuju relasi yang berstatus, tetapi aku ingin menikmati relasi tanpa status ini dalam ruang rindu bersamamu. Aku tidak ingin kita saling menyakiti, tetapi aku ingin kita selalu saling merindukan.
Di dalam ruang rindu ini aku selalu menantikan kabarmu. Apakah kamu baik-baik saja? Harapanku begitu sederhana yakni sapaanmu setiap hari. Aku ingin mendengarkannya. Suaramu yang indah dan merdu. Tetapi semua itu masih akan terjadi? Aku tidak tahu. Mungkin waktu yang dapat menjawab semua itu, walaupun kita belum beranjak dari sang waktu.
0 Comments