Kehadiran seorang pribadi kocak dan tabah mengajarkan kami akan pentingnya pengalaman ada bersama dan bersama-sama ada, demi terwujudnya harapan dan cita-cita di tengah kerasnya kehidupan.
Kami hidup di daerah yang berpenduduk padat dan sulit secara ekonomi. Kami harus berjuang memperebutkan lapangan pekerjaan yang begitu langka, sehingga apapun, asalkan menghasilkan uang, akan kami geluti. Untuk mengais sesuap nasi, kami harus berjalan jauh meninggalkan rumah dan tak jarang meninggalkan orang-orang terkasih.
Mengupas dan mengais sejuta harapan yang tersimpan di dalam kubangan sampah yang menjadi cita-cita kami dan anak-anak kami. Sejuta kisah kami, dirajut dalam tuntutan hidup yang begitu keras. Akan tetapi, kami tidak pernah gentar, meski kadang kami merasa putus asa. Naluri perjuangan terus bergejolak di dalam diri kami ketika melihat anak-anak kami terlantar dan penuh peluh mengikuti kami mengais rezeki hidup di bawah sengatan terik mentari.
Cita-cita mereka tidak lagi sama dengan anak-anak pada umumnya, bahkan mereka tidak mampu mengeja kata ‘impian’ karena untuk memikirkannya pun mereka terhalang oleh kenyataan yang tidak pernah memihak mereka. Realitas yang bergentayangan dalam pikiran mereka tak jauh berbeda dengan kami, yakni bagaimana mencari sesuap nasi. Sebuah desakan kebutuhan jangka pendek, yang tak punya arah dan tujuan jauh ke depan.
Suatu ketika, hadirlah seorang sosok yang begitu berapi dengan pelayanan tanpa memandang bulu. Dialah Petrus Partono atau pak Petrus yang menjadi sapaan khasnya. Seorang pria kelahiran Klaten yang saat ini telah berusia 42 tahun. Kehadirannya membiaskan secercah harapan di tempat kami yang telah lama tidak menarik bagi para pemimpin politik, kecuali sebagai jualan dan bualan kampanye mereka.
Dia hadir dengan penuh ketulusan dan kepolosan untuk membantu kami yang kurang mampu. Pendidikan bagi anak-anak usia dini (TK dan play group), pelayanan bagi lansia, pelayanan kesehatan klinik 5.000), memperhatikan kaum muda dengan mendirikan sebuah balai latihan kerja/BLK bagi kaum muda yang putus sekolah dan bekerjasama dengan para voluntir dari Perancis yang merupakan titipan Konverensi Wali Gereja Indonesia/KWI).
Realitas yang ia jumpai di tengah-tengah kami inilah yang menjadi perhatian pokoknya untuk melayani. Dia membawa harapan baru bagi masa depan bangsa dengan mendidik anak-anak kami tanpa membeda-bedakan suku, etnis, dan agama. Kami semua sama di dalam pelayanannya.
Dialah terang, yang memampukan anak-anak kami membuka mata dan mengerti bahwa mereka pun boleh mempunyai impian tentang masa depan yang berbeda dari kami para pendahulu mereka. Dia membantu anak-anak kami mengerti bahwa impian bukanlah kata yang tabu bagi orang-orang yang ingin berjuang; bahwa cita-cita bukanlah previlese kaum berduit.
Akan tetapi, kehadirannya tidak mendapat apresiasi yang cukup baik dari segelintir orang oleh karena predikat yang disandangnya sebagai seorang kristiani (kristen Katolik). Banyak peristiwa kelam yang dialaminya ketika berada bersama kami. Ia pernah ditolak dengan alasan kristenisasi. Namun, keadaan ini tidak penah digubrisnya, karena hanya akan mempersulit pelayanan.
Dia tidak ingin pelayanan mulianya terhenti oleh alasan yang ia sendiri tidak pernah berpikir untuk melakukannya. Ia mengadapi semua tudingan negatif dengan pelayanan yang semakin tulus demi masa depan kami dan anak-anak kami. Ia dikenal sebagai pria kocak yang sangat pandai bergaul dengan semua orang dengan latarbelakang apapun.
Karena katabahan dan kesetiaannya dalam melayani, berbagai prasangka buruk itu perlahan melemah, dan mereka yang pernah menuduhnya sekarang berbalik mendukung pelayannya. Hal ini terbukti ketika salah seorang voluntir yang bernama Javotte meninggal dan didoakan pada hari ketujuh kepergiannya, semua orang hadir termasuk mereka yang dulu menyebarkan rumor tentang kristenisasi. Ini bukan soal kesuksesan dalam menenangkan suasana, tetapi lebih dari itu adalah tentang ketabahan dan kesetiaan dalam pelayanan tanpa membeda-bedakan.
Berkat pengorbanan dan pemberian dirinya yang tulus, anak-anak kami yang biasanya mengikuti jejak kami mengais sesuap nasi di balik timbunan sampah, kini bisa mengais masa depan di bawah lindungan sebuah bangunan yang menyimpan sejuta harapan baru bagi mereka. Mereka yang dahulunya membuntuti kami dari belakang, kini berbalik arah dan perlahan-lahan berlangkah lebih cepat di depan kami demi menggapai harapan dan cita-cita mereka yang kini kembali bersinar.
Mereka sudah mempunyai cita-cita baru yang bukan lagi mengais kehidupan di balik sampah, tetapi mengais harapan di balik gedung yang menyimpan impian mereka untuk bisa menjadi pribadi yang kompeten dan beguna di masa depan. Cita-cita mereka tidak lagi cita-cita jangka pendek, tetapi sudah terbentang jauh ke depan.
Kehadiran dan pelayanannya yang mulia mengajarkan kami bahwa di dunia ini, tidak sedikit orang yang memiliki persepsi buruk tentang kebaikan yang dilakukan seseorang, apalagi dia adalah seseorang yang berbeda atau bukan bagian dari kelompok ‘kami’. Kami sudah berada di dalam kerasnya hidup yang membuat kami menilai sesuatu sebatas pada hari ini tanpa melihat ke depan.
Ada bersama dan bersama-sama mengalami menyadarkan kami bahwa ia tidak mengembel-embeli pelayanannya dengan rumor-rumor yang dulu pernah tersiar di antara kami. Bagi kami, rumor itu ada karena orang melihat dari kejauhan tanpa mengalaminya. Kami terlalu cepat menilai ‘kulit’ tanpa menyelami ‘isi’ pelayanannya. Dalam hal ini, kami tidak berbeda dengan apa yang dikatakan komentator sepak bola: “ketika kami berkomentar tentang bola, kami lebih ahli dari para pemain, karena kami melihat dari kejauhan dan melihat begitu banyak peluang yang dapat kami lakukan.
Akan tetapi, hal itu berbanding terbalik dengan para pemain, sebab mereka berada dan mengalami situasi yang ada di depan mata dan bukan dari kejauhan.” Itulah bedanya ketika orang berkata-kata dari kejuhan tanpa pengalaman ada bersama, dan tidak jarang hal ini menimbulkan konflik berkepanjangan.
Kehadiran pria kocak ini mengubah persepsi kami yang dulunya keras menjadi lebih lembut untuk menilai. Kami diajak untuk melihat situasi tidak dari kejauhan, tetapi lebih dekat dan semakin dekat serta mengalaminya agar mata kami terbuka dan persepi kami diubah oleh pegalaman ada bersama. Hal ini membuat kami sadar akan pentingnya menilai dari pengalaman ada bersama dan bukan dari kejauhan.
Sampai pada titik ini, mungkin tepat jika saya mengutipkan sedikit pemikiran sesepuh kita Sokrates yang mengungkapkan tiga hal penting di dalam menilai situasi atau persoalan. Pertama: apakah yang kamu katakan itu kamu lihat dan alami sendiri? Kedua: apakah hal itu berkaitan dengan saya? Dan ketiga: apakah hal itu penting bagi kehidupan saya?
Sokrates menasihati, jika salah satu dari ketiganya meperoleh jawaban tidak, maka hendaknya persoalan itu dikritisi dan tidak cepat memberikan penilaian. Apalagi dua atau ketiganya memperoleh jawaban tidak berarti pernyataan yang disampaikan adalah hoax, tidak sesuai dengan kenyataan dan hendaknya diabaikan.
Kehadiran sosok yang mengubah persepsi, harapan, dan cita-cita anak kami ini cukup membantu kami untuk semakin kritis dalam menilai sesuatu yang berkaitan dengan hidup kami. Pelayanan yang tulus, tidak pernah memandang bulu dan tidak pernah lari dari persoalan yang menghadang, betapapun itu sulit dan menyakitkan.
Ketenangan dan kesabaran untuk menghadapinyalah yang menjadi tonggak kokoh untuk menampilkan esensi dan eksistensi yang murni dari pelayanan itu sendiri. Seperti kata pepatah, ‘emas dimurnikan dalam api’, pelayanan yang tulus pun diuji dalam tantangan. Pelayanan hanya akan bermanfaat jika dialami dan membebaskan orang-orang yang dilayani dari berbagai belenggu kehidupan, bukan karena penilaian berdasarkan latar belakang atau identitas pelayannya.
Pengalaman dapat mengajarkan kami akan pentingnya arti keterbukaan menerima pelayanan dan tidak menutup pintu persaudaraan karena prasangka-prasangka buruk. Pengalaman ini juga mengajarkan kami bahwa “penolakan bila dijawab dengan ketulusan dan kesetiaan dalam pelayanan merupakan guru terbaik untuk memberikan arti tentang hidup yang bermanfaat bagi orang lain di tengah realitas majemuk kami”.
Kami sangat berharap bahwa impian dan cita-cita anak-anak kami yang dulu terselubung di balik sampah menjadi bersinar dan bergelora dengan kehadiran seorang palayan yang ada bersama dan bersama-sama ada bagi kami.
0 Comments