Sejak semula aku adalah aku yang dikenal dengan nama kertas. Aku ada karena kehendak manusia. Mereka menginginkan agar aku ada bersama mereka dalam suka dan duka. Meskipun aku tak dapat berkata-kata, tetapi aku dapat mengerti apa artinya hidup dan membuat hidup itu berarti.
Hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dihidupi. Inilah sepenggal kalimat yang pernah diungkapkan oleh filosof besar Sokrates. Ia melihat hidup tidak hanya sebatas ordinary life tetapi lebih dari itu hidup adalah extra-ordinary. Merfleksikan hidup adalah sebuah tuntutan yang hendaknya dijalani oleh orang-orang menghidupi anugerah besar tersebut.
Perfleksian akan arti hidup ini sudah dijalani sejak lama oleh orang-orang di Atena, termasuk Sokrates. Mereka berkecimpung dalam diskusi mengenai ruang terdalam dari hidup. Tempat di mana mereka mengadakan diskusi sering disebut dengan agora.
Tempat ini tampak seperti pasar yang menghadirkan begitu banyak orang yang datang dari berbagai penjuru Atena. Perefleksian ini bersifat akademis dan diskusi yang begitu mendalam. Dikemudian hari, barulah orang mengumpulkan serpihan-serpihan dari hasil diskusi tersebut dalam bentuk tulisan.
Di masa kini, orang lebih banyak berkecimpung dalam dunia daring yang menyajikan dan menyimpan begitu banyak input dan output yang mudah dijangkau setiap orang. Keduanya ada memboncengi dua unsur sekaligus yakni positif dan negatif.
Unsur-unsur ini bergantung penuh pada sentakan jari sang user. Orang tidak lagi memilih untuk menatap buku yang terlihat lusuh dengan gambar-gambar mati, melainkan berpaling kepada dunia online yang menampilkan sejuta animasi yang memikat hati. Apakah dalam rana ini murni dari hati?
Kemungkinan besar, rasa yang memikat ini tidak berasal dari hati, melainkan dari dorongan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu. Akan tetapi perlu disadari bahwa privatisasi dari penggunaan media tidak lagi tertutup rapat layaknya kita memendam jarum di dalam peti. Segala sesuatu bisa dijangkau oleh siapapun termasuk hal yang paling urgen dan mendalam dari kehidupan seseorang.
Melihat realitas yang sedemikian kompleks, aku ingin berkisah. Sebagai kertas yang pernah dipakai dan kini diabaikan hendak memberikan sebuah pamahaman akan pentingnya privasi yang merupakan nilai terdalam dari hidup itu sendiri. Aku memang benda mati. Aku terlihat lusuh ketika aku digunakan, tetapi aku tidak pernah mengeluh sedikitpun.
Aku tetap bersedia untuk digunakan oleh manusia. Aku tahu segala sesuatu yang dilakukan manusia terhadapku, tetapi sekali lagi aku tidak pernah protes sedikitpun, melainkan merasa bangga karena aku menyimpan rahasia terdalam dari kehidupan seseorang.
Tidak sedikitpun rahasia mereka aku umbar kepada orang lain. Mereka yang menggunakanku tidak pernah tahu bahwa aku sakit ketika pena yang digerekan diatasku dan meninggalkan bercak-bercak darah itu sungguh menyakitkan. Aku membiarkan diriku sakit demi kebahagiaan mereka yang hidup.
Ketika aku diadakan, tujuannya adalah untuk menyimpan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia demi masa depan yang cerah. Aku bahkan menjadi penghubung antara pria dan wanita yang sedang menjalin relasi personal. Aku juga digunakan pada saat manusia membutuhkan ilmu. Aku menyimpan banyak hal yang bermanfaat baik itu ilmu alam, sosial, politik dll.
Aku juga menyimpan rahasia terdalam dari kehidupan seseorang ketika melakukan inform concern sebelum memulai tindakan medis. Semua hal ini seolah membuatku hidup. Aku yang dahulunya terlihat sebagai ‘pribadi’ yang tidak mampu dan hanya mengandalkan fisikku yang lusuh terlihat hidup dalam matiku.
Ada begitu banyak rasa yang kualami selain rasa sakit. Aku bahagia bersama manusia yang bahagia, namun aku juga sedih bersama mereka yang sedang sedih. Perasaan ini timbul dari setiap goresan pena yang mengitari seluruh tubuhku. Aku sama sekali tidak menyangka jika hal itu akan terjadi.
Kebahagiaan yang kualami timbul ketika seseorang yang menggenggamku penuh rasa cinta, membuka setiap sudut diriku dengan penuh iba dan perhatian. Aku merasa bahagia, jika mereka menangkap makna terdalam yang tertulis di dalam aku. Akan tetapi, aku juga merasa sedih, ketika mereka yang membuka setiap sudut diriku dengan kasar, karena tidak mengerti apa yang ada di dalam aku. Problem ini sering kualami, tetapi aku tetap diam dan tak mampu berkata-kata.
Kini aku merasa iba dengan mereka yang dahulu menghendaki aku ada. Rahasia mereka kini terumbar di mana-mana. Aku prihatin tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku ingat ketika aku dijadikan barang bukti pada saat pengadilan. Kertas itu aku, sebuah gerakan tangan yang tergores di ataskku adalah sebuah janji yang sifatnya mengikat antara pria dan wanita.
Mereka berjanji untuk sehidup semati dalam dunia yang fana. Aku menyaksikan janji itu bersama berjuta-juta pasang mata yang hadir saat itu. Tetapi, kini aku tidak lagi menyimpan rahasia itu. Aku dicampakkan di dalam tanur api yang membara akan hasrat dan kuasa untuk memiliki.
Aku merasa bersalah dengan semua ini. Mengapa aku tidak bisa mempertahankan hubungan mereka? pertanyaan inilah yang selalu hadir di benakku. Apalah daya, aku hanya mampu bertanya tetapi tak mampu memberikan jawaban pasti.
Kertas itu aku. Aku merasa iri, saat aku diabaikan oleh sesuatu yang lebih menarik. Aku ingin sekali membuat diriku menarik, tetapi aku tak mampu. Aku ingat sekarang, dulu aku pernah menyimpan sebuah gambar mati yang mngungkapkan isi hati seorang pria kepada wanita. Di setiap sudut diriku diberi gambar bunga yang begitu indah. Di dadaku diberi gambar hati yang mengungkapkan rasa cinta. Sekarng semua telah tiada. Aku tidak lagi dihiasi seperti dahulu. Akankah aku dapat menghias diriku sendiri. Tidak, aku tak mampu.
Kertas itu aku. Aku terbayang akan masa-masa sulit dalam diriku, ketika aku menjadi rebutan karena menyimpan harta yang begitu berarti bagi manusia. Aku hanyalah kertas yang menyimpan gambar mati tentang lokasi tempat tinggal manusia. Aku ingat, ketika aku menjadi rebutan di dalam sebuah keluarga. Mereka ingin memiliki aku sepenuhnya. Konflik terus terjadi karena tidak ada yang menau mengalah ingin memilikiku seutuhnya. Perpecahan dan keretakan di dalam keluarga pun tak dapat dihindarkan. Aku tak mampu berbuat apa-apa di saat itu. Aku terus diam di tengah keributan keluarga ini. Begitu pentingkah aku, sehingga aku menjadi rebutan? Ia, saat itu aku sangat penting karena aku menyimpan sesuatu yang berharga.
Kertas itu aku. Masih terngiang di benakku, ketika seluruh tubuhku dibaluti minyak goreng yang membuat diriku sangat transparan. Aku menjadi alat untuk membungkus makanan berminyak seperti, kue, tahu goreng dan masih banyak lagi jenis makanan lain yang berjejer rapi di pasar kaki lima. Aku merasa ternoda saat itu. Namun, rasa ini sedikit memudar ketika aku menyadari bahwa ternyata aku membantu manusia sebagai wadah untuk membungkus apa yang mereka inginkan. Untuk itukah aku ada? tidak, tetapi aku terkadang digunakan untuk itu.
Sampai saat ini, aku merindukan hal-hal ini terjadi lagi. Aku ingin berbagi kisah menarik seperti dulu. Aku ingin sekali didekap erat dalam pelukan manusia, walau kadang hanya menjadi teman tidur ketika aku tak lagi dibuka. Aku ingin semuanya terjadi lagi. Mungkinkah semua akan kembali seperti sedia kala. Aku meskipun mati sejak adaku, aku ingin mereka yang hidup menikmati hidupnya bersama aku lagi. Inilah harapku.
Kertas itu aku. Hai penciptaku, masihkah kalian menginginkan aku ada? Masihkah kalian membiarkan aku untuk hidup bersama? Mungkinkah kita dapat mengulang kembali kenangan kita dulu di zaman ini? Aku merindukan hal itu. Tetapi, apalah daya kerinduanku itu, jika kalian tidak merindukanku lagi. Kalian telah berpaling dariku. Ya, kertas itu aku yang masih berada dalam kerinduan untuk berbagi kisah denganmu lagi. Aku ingin diisi lagi menskipun aku sakit tetapi aku menikmati semua itu. Aku rindu kalian semua.
0 Comments