Hidup

Hidup tidak terlepas dari lingkaran ruang dan waktu. Aku yang ada saat ini adalah wujud nyata dari ruang dan waktu yang diciptakan oleh kedua orangtuaku. Keberadaanku nanti akan ditentukan pula oleh ruang dan waktu. Tak ada seorangpun yang mampu mengganti atau bahkan menghentikan semua itu.


Menghentikan waktu memang pernah terjadi saat Kaisar Konstantinus berperang, waktu berhenti sejenak saat ia menuturkan sumpahnya kepada sang Pencipta. Mungkin itu ilusi atau imajinasi kaum bangsawan untuk mengangkat nama baik sang kaisar. Mungkin pula hanya segelintir naskah terpisah untuk memperkuat iman jemaat bahwa sang Pencipta tak sekali-kali meninggalkan ciptaan-Nya. 


Kamu dan aku adalah serpihan-serpihan ciptaan yang diramu dan dijadikan secitra dengan-Nya. Kadang aku lebih fokus pada perbedaan di antara kita. Aku bergurau jika kamu itu keriting dan aku lurus, kamu itu hitam dan aku putih dan masih banyak lagi gurauan yang tercipta saat kita ada bersama, tapi jangan berkecil hati karena kita masih secitra ‘kog’. 


Jika kita ingin menghetikan waktu apakah kita masih bisa berada dalam ruang yang sama? Mungkin ia dan mungkin pula tidak. Mengapa? Karena waktu tak lagi berputar dan aku tak lagi ada bersama kalian. Aku telah pergi bersama waktu meninggalkan ruang kita. 


Saat kita membaca ke-empat injil kita akan menemukan saat-saat yang digunakan oleh sang sabda untuk menyimpang, entah menuju keheningan, entah menuju pengunungan. Itulah bentuk lain dari “menghentikan waktu” sesaat untuk membuka dan menjamu lembaran berikutnya. 


Susah memang, itu sama halnya dengan kamu menutup lembaran kisah lama dan membuka lembaran yang baru tetapi belum bisa move on dari lembaran kusam itu. Sang sabda selalu menyimpang dan menyamping untuk mencari keheningan mendalam demi sesuatu yang lebih dalam.




Ruang dan Waktu


Ruang dan waktu kita amat berbeda. Pergulatan kita pun berbeda. Tapi, apakah kita akan terus diam dalam zona kritis dan krisis yang kita buat sendiri? Alangkah lebih baik tidak. Kita membutuhkan waktu untuk menyimpang dan bukan melarikan diri. 


Menyamping bukan untuk mendahului. Tapi, menyimpang dan menyamping untuk membenahi dan mendalami setiap situasi yang kita alami. Cari ruang dalam waktu luang untuk mencari peluang yang terpancar gemilang.


Pandangan dan pengalaman itu masih sama seperti yang dulu, yang berubah adalah waktu dulu, saat ini dan nanti. Jika aku dan kamu masih terpukau dan terpaku pada waktu yang dulu, kapan kita punya waktu untuk yang sekarang dan nanti. 


Lebih baik pikirkan saat ini untuk yang nanti. Yang di sana menanti, tapi kalau kita masih di sini mungkin dia akan merintih penuh kekecewaan. Biarkan kekecewaan yang sudah lalu jadi pengalaman dan buatlah niat untuk tidak mengulangi hal yang sama nantinya. 




Time for Change 


Time for change adalah menyimpang, menyamping dan menggali peluang dalam setiap kesempatan agar ruang dan waktu kita tidak berhenti di sini, tetapi berjalan terus menuju yang menanti. Proses dan prospek hidup selalu dibaluti oleh dua hal yakni menjamu dan menanti. Seperti tenunan, kita terus dan terus memintal setiap benang agar menghasilkan motif yang kita inginkan. Terkadang salah arah dan ada pula benang yang patah. 


Sama halnya dengan hidup kita, tak semudah kita berucap dan tak semudah kita berkhayal. Ingat, jalan menuju yang menanti bukanlah jalan yang mudah tapi, bukan pula jalan yang sulit. Semua itu bergantung pada seberapa kuat dan seberapa mampu kita menjamuya. 


Mengubah dan berubah tidak serta merta terjadi tanpa pengorbanan, jika semua itu terjadi berarti kamu dan aku adalah manusia super bak malaikat. Tetapi, jika kita mengorbankan sesuatu untuk sesuatu yang lain pastinya kita akan menjadi lebih kaya pengalaman dalam menjamu kesempurnaan itu.


Para petinggi saat ini, entah di bidang agama, pemerintah, dan lain sebagainya menjunjung tinggi yang namanya revolusi. Nah, lalu bagi kita apa itu revolusi? Revolusi bukan hanya sekadar perubahan dalam arti yang sesungguhnya atau hanya sekadar kata, tapi lebih dari itu perlu ditopang oleh tindakan. 


Presiden kita menggaungkan nada revolusi mental, hal ini membuktikan bahwa kita belum punya mental yang baik untuk menerobos masa depan. Pembangunan infrastruktur yang memadai tanpa didukung oleh pembangunan mental pun adalah suatu kesia-siaan. 


Di sisi lain, kita diajak oleh para petinggi agama untuk menghargai dan menjalani setiap rutinitas harian kita sebagai suatu jalan menuju yang namanya "kekudusan", "kesempurnaan". Setiap kesempatan dalam hidup tak mungkin terulang lagi dalam nada dan ritme yang sama. Berbeda dengan mesin atau rancangan yang dibuat oleh manusia sendiri. 


Jika kehidupan dan pengalaman manusia dapat diulang dalam nada dan ritme yang sama, maka kehidupan ini tidak akan menampakan yang namanya kekurangan atau keminimalisan dan koreksi karena semuanya tampak baik tanpa kekurangan sedikitpun. 


Orang mampu mengulang dan mengubah semua seturut kehendaknya. Hidup bukanlah demikian, setiap pribadi punya jalan dan cara masing-masing untuk mengatasi dan melintasinya. Semua yang dibutuhkan adalah kesadaran untuk melihat semua itu sebagai anugerah yang terindah. Jika semua adalah anugerah, maka melewatkan sedikit saja waktu dalam hidup berarti kita telah membuang anugerah yang diberikan kepada kita untuk hari itu. 


Maka dari itu, jamulah ruang dan waktumu dengan sejuta pengalaman agar dia yang menantimu di sana menatap pergulatan dan usahamu penuh kerinduan tidak kecewa untuk kedua kalinya.