PERAN AGAMA DALAM MENGEMBALIKAN IDENTITAS BUDAYA


Pengantar
            Pada tanggal 31 Oktober lalu tepatnya pada malam puncak Dies Natalis Fakultas Teologi Wedhabakti (FTW) yang ke-XXXI saya merasa bangga dengan penampilan para mahasiswa-mahasiswi. Mereka menampilkan beragam tarian khas daerah masing-masing. Keberagaman tarian-tarian tersebut mau menunjukkan kepada kita bahwa kita kaya akan budaya dan kita patut berbangga dengan apa yang kita miliki. Orang Lembata tampil dengan dolo-dolonya, Manggarai dengan tarian caci dan masih banyak lagi penampilan lain yang turut memeriahkan acara malam puncak itu.
            Sebangga-bangganya kita dengan kekayaan budaya yang kita miliki, de facto kadang orang risih dengan budayanya sendiri. ada ketakutan untuk menampilkan budayanya. Menurut saya ketakutan dan rasa risih itu muncul karena kita ada bersama dengan tradisi atau budaya yang lain. Di dalam konfrontasi dengan yang lain inilah yang membuat orang takut dan risih untuk menampilkan budayanya karena ia berasumsi bahwa budayanya tidak sebagus budaya yang lain. Hal ini tak dapat disangkal bahwa telah dan masih terus terjadi sampai saat ini. Menanggapi problema ini saya mengutip sebuah lagu daerah khas NTT yang berjudul “Timor Tabongkar”. Timor Tabongkar tidak berarti bahwa pulau timor diluluh-lantakan seperti yang terjadi di Paris, tetapi sebagai bentuk ajakan agar orang tidak lagi malu dan gengsi melainkan pasang akting dengan tidak malu-malu menampilkan keaslian budayanya.
            Pertanyaan yang muncul di benak saya akan persoalan budaya adalah mengapa orang begitu takut untuk beracting dengan budayanya? Padahal menurut saya budaya memiliki pengaruh besar dalam pembentukan karakter dan kepribadian manusia. Hal ini juga menjadi keprihatinan tersendiri bagi banyak pihak. Paus Fransiskus yang mewakili pihak gereja pada tanggal 24 Mei 2015 lalu menghimbau para evangelisator agar berani terbuka terhadap budaya. Ajakan ini mau menandaskan bahwa sebenarnya Gereja juga terbuka dengan budaya, sebab dari budayalah orang mulai tumbuh dan berkembang. Maka tidak heran jika paus mengatakan bahwa dalam diri tradisi orang dibantu untuk masuk ke dalam misteri kebijaksanaan Allah.
            Kita akan menjadi lebih bangga lagi jika kita dapat beracting dengan budaya kita. Tetapi apa yang akan terjadi jika budaya kita mengalami pergeseran makna dan menjadi evangelisator seperti apakah kitajika berhadapan dengan hal itu? Pulau Timor akan menjadi titik tolak saya untuk menjawab pertanyaan ini, sebab menurut saya budaya dan adat istiadat orang Timor khususnya orang Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara yang telah mengalami pergeseran makna. Pergeseran makna ini bukanlah sebuah ilusi melainkan kenyataan yang sekaligus menjadi bagi saya sebuah  pengalaman.

Agama Vs Tradisi bertolak dari Pengalaman Pribadi
            Agama secara etimologis dapat diartikan sebagai ajaran, sistem yg mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yg berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya[1]. Sedangkan tradisi memiliki artisebagai adat atau kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat atau sebuah anggapan bahwa cara-cara yg telah ada merupakan yang paling baik dan benar.[2] Penjelasan singkat mengenai arti dari setiap term di atas setidaknya membuka sedikit pemahaman kita soal apa yang akan kita bahas dan konteks apa yang digeluti masing-masing bidang.
            Ada sebuah realitas yang menunjukan relasi kurang harmonis antara gereja dan budaya saya alami pada tahun 2012 silam. Pada saat itu saya sedang menjalani masa Novisiat. Pengalaman itu menarik namun cukup menegangkan. Pertentangan ini terjadi saat misa requem salah seorang umat paroki St. Vinsensius A Paulo Benlutu, TTS yang meninggal. Seorang pastor dari pihak agama dan seorang tua adat dari pihak keluarga (mewakili tradisi). Mereka tetap pada pendirian masing-masing. Sang tua adat berkata bahwa acara pemakaman hanya bisa dan akan terjadi jika ada persetujuan darinya. Sedangkan sang pastor mengatakan bahwa jika adat lebih dipentingkan maka silahkan makamkan mayat ini sesuai adat dan tanpa perayaan misa. 
            Pengalaman ini jika dilihat secara sepintas sepertinya biasa-biasa saja. Tidak ada sesuatu yang menarik di sana. Namun bagi saya, ini sebuah tantangan. Tantangan baru bagi para evangelisator yang notabene sudah berkecimpung dalam dunia modern berhadapan dengan umat yang masih ketat dengan tradisinya. Hemat saya, anjuran Paus Fransiskus agar gereja terbuka terhadap budaya dapat menjawabi persoalan ini. Namun pertanyaannya, apakah semudah itu? Saya secara pribadi berpendapat bahwa tidak semudah itu kita mendamaikan keduanya, namun ada kemungkinan untuk itu dan kemungkinan itu selalu berjalan dan berada dalam sebuah proses.

Budaya Dua Dimensi
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia, kebudayaan Indonesia ditentukan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan suara-suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri.”[3]
            Budaya selalu mengarahkan orang kepada sesuatu yang baik sebagai satu keutuhan dan menurut Romo Mangun, kebudayaan berarti: “Seluruh totalitas aktivitas serta galaksi pengentalan seluruh ikhtiar manusia menjawabi tantangan hidupnya, mengolah dan memberi makna kepadanya, menjamin penyegaran dirinya secara integral, baik dalam karya nyata maupun pembahasan serta simbolisasinya.”[4]Arah dari pengertian kebudayaan ini selalu tertuju kepada sebuah kehidupan baru yang baik. Karena kebaikan itulah kebudayaan itu perlu dipelihara dan diwariskan kepada anak cucu kita.
            Kebaikan itu dapat dilihat dari setiap kebiasaan yang ditampilkan di dalam kehidupan bersama. Namun, budaya dua dimensi yang dimaksud adalah budaya yang bertindak sebagai pendukung pewartaan sekaligus menjadi penantang pewartaan. Mendukung dalam konteks ini adalah membantu para penganut agama untuk masuk dalam penghayatan iman akan Dia yang diimani. Penantang berarti bahwa ada tradisi-tradisi tertentu yang terkadang bertolak belakang dengan tradisi agama (baca: tradisi Kristiani). Dapat disebutkan misalnya: belis, atoen amaf (kuasa dari om), dan sunat.
            Tiga tradisi yang diebutkan di atas merupakan contoh-contoh tradisi yang dalam konteks keagamaan kadang menjadi penantang pewartaan. Untuk tidak terlalu abstrak dengan istilah-istilah ini maka akan dijelaskan secara singkat arti ketiganya yang sekarang sudah disalahtafsirkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan sendiri.
o  Belis
            Belis bagi orang Timor adalah tanda kesiapsediaan sang mempelai laki-laki untuk menikahi mempelai perempuan. Sekarang diartikan sebagai bentuk penjualan anak. Hal ini disebabkan oleh tindakan tawar-menawar dalam ritual itu dan yang lebih menyedihkan lagi adalah penetuan belis berdasarkan pada tingkatan pendidikan bahkan ada yang mencapai ratusan juta.
o   Atoen amaf (kuasa dari om)
            Perannya adalah sebagai pengayom dari keluarga baru itu dalam suka dan duka serta menaruh perhatian khusus dan bertanggung jawab atas kedua mempelai baru itu. Namun sekarang kuasa atoen amaf diarahkan kepada kepentingan sendiri. Ia mengambil keputusan sesuai dengan apa yang ia mau dan bukan lagi sesuai dengan adat istiadat.  
o   Sunat
            Dalam tradisi Timor sunat memiliki arti memasukan atau inisiasi. Memiliki satu ritus khusus yang disebut sifon. Sifon merupakan proses pembersihan dengan berhubungan intim dengan orang lain yang tidak dikenali dan itu sudah disediakan oleh orang yang menyunat.
            Melihat realitas ini evangelisator dan calon evangelisator di masa yang akan datang kita dituntut untuk bagaimana mengambil sikap saat berhadapan dengan persoalan-persoalan seperti ini.Dasar apa yang mau dan akan kita gunakan natinya. Budaya yang sebenarnya bagi Paus Fransiskus adalah sebagai penuntun kini menjadi penantang  dan tantangan evangelisasi.

Apa dasar Kita
            Untuk menjawabi persoalan di atas ada dua dasar yang diangkat sebagai jawaban atas persoalan itu di antaranya:
o   Kitab Suci
            Kitab Suci pada hakekatnya lahir dan berkembang dalam kebudayan dan tradisi tertentu. Paling tidak ada dua tradisi yang membentuk Kitab Suci hingga seperti yang ada pada kita saat ini. Kedua tradisi itu adalah tradisi lisan dan tradisi tertulis. Kisah-kisah yang telah terjadi diceritakan turun-temurun sebagai bentuk kebanggaan atas nenek moyang mereka. Jika kita hubungkan masalah-masalah yang terjadi di atas dalam perspektif Kitab Suci jelas bahwa ada kesinambungan dalam hal sunat. Setiap orang yang ingin menjadi kristen hendaknya ia disunat (bdk. Gal. 2:7), yang kemudian di pertentangkan oleh Paulus bahwa beriman itu bukan soal sunat atau tidaknya melainkan seberapa besar iman itu (bdk. Gal. 2:8).Sunat di dalam Kitab Suci hanya diakui sebagai sebuah tradisi bahwa orang sudah terhisap dalam perjanjian dengan Allah[5].
            Sedangkan untuk belis dan wewenang om sebagai atoen amaf tidak ditemukan di dalam Kitab Suci. Sebaliknya untuk perkawinan dalam Kitab Suci orang hanya diajak untuk meninggalkan keluarganya dan bersatu dengan pasangannya menjadi satu daging (bdk. Kej.2:24). Laki-laki dan perempuan disatukan dan di sana tidak dituntut belisnya. Lalu untuk apa kita menutut belis pada zaman kita?
o   Kebudayaan Asli
            Saat ini jika kita bertanya bahwa apakah sebuah budaya masih berpegang pada keasliannya mungkin hanya sedikit saja yang memberi jawaban positif. Kembali pada keaslian budaya memang cukup sulit karena orang sering mengatakan bahwa ikut perkembangan zaman. Pertanyaannya jika kita mengikuti perkembangan zaman untuk apa kita mempersulit diri dengan tradisi atau adat istiadat kita yang semakin rumit itu. Salah satu daerah yang masih berpegang teguh pada kebudayaan dan tradisinya yang amat kental adalah daerah Boti yang sering dikela dengan suku Boti[6].

Kesimpulan
            Uraian-uraian di atas ditampilkan sebagai sebuah kenyataan dalam kehidupan pelayanan kita nantinya. Selain itu juga tampilan itu dimaksudkan agar setiap evangelisator dapat dan boleh berefleksi diri,mau tidak mau, suka tidak suka itulah tantangan yang ada disekitar kita, sehingga jelaslah bahwa kita sebagai pewarta dituntut untuk mengambil sikap dalam menjawabi persoalan ini. Pertanyaan di akhir tulisan ini adalah menjadi evagelisator seperti apakah kita nantinya jika berhadapan dengan persoalan-persoalan ini? Ada jawaban yang ditawarkan di sini yakni; pertama: menjadi pewarta yang tahu konteks, kultur dan tradisi seperti apa yang akan dihadapi. Dari pengetahuan itu maka akan memunculkan jawaban kedua: pewarta yang dapat dan sebisa mungkin membangun dialog dengan budaya.
            Kedua jawaban sebagai alternatif ini merupakan sebuah pandangan yang bertitik tolak dari pesan Paus Fransiskus agar Gereja bisa terbuka terhadap budaya sekitar. Keterbukaan Gereja khususnya para pewartanya akan mempermudah terjadinya sebuah dialog. Dialog yang kita bangun bukanlah dialog untuk menghilangkan namun dialog dengan mempertimbangkan dimensi-dimensi dari kehidupan kita yang lain, misalnya pendidikan dll.,Salah satu gerakan konkret adalah apa yang dilakukan oleh Mgr. Dominikus Saku, Pr Uskup Atambua dan hendaknya ini menjadi bagi kita satu contoh sekaligus pertimbangan dalam mempersiapkan diri menjadi evangelisator yang nantinya akan bergumul di dalam budaya maupun adat istiadat yang masih kental. Sekali lagi mau tidak mau, suka tidak suka kita harus berani mengambil sikap di dalam persoalan ini.
  

DAFTAR PUSTAKA


Kleden, Paulus Budi. 2003. Teologi Terlibat politik dan budaya dalam terang teologi. Ledalero: Maumere.
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Deutero Kanonika.
















                [1]http://www.kamus-kbbi.com di akses pada hari kamis 19 November 2015, pukul 9:50 pagi.         
                [2]http://www.kamus-kbbi.com di akses pada hari kamis 19 November 2015, pukul 10:00 pagi.
                [3]Surat Kepercayaan Gelanggung, diumumkan di Jakarta pada tanggal 23 Oktober 1950, dikutip dari Paulus Budi Kleden, Teologi Terlibat politik dan budaya dalam terang teologi, Ledalero, Maumere: 2003. hlm.1 
                [4]Paulus Budi Kleden, hlm. 1
                [5]Lihat Kamus dalam alkitab Deutero Kanonika, Lembaga Alkitab Indonesia, hlm. 326
                [6] Suku Boti berada di pulau Timor. Lebih jelasnya lagi di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Boti itu berada sekitar 40 kilometer dari Soe, ibukota kabupaten TTS. Suku ini sangat eksklusif sebab mereka memiliki tradisi dan aturannya sendiri untuk mengatur setiap anggota didalam suku itu. Mereka sangat menjunjung tinggi keaslian budaya tanpa dipengaruhi oleh perkembangan zaman.