KEBAHAGIAAN
Ulasan Awal
Semua insan yang hidup
di dunia fana ini selalu mencari
sesuatu yang abstrac dan sebenarnya tidak memiliki arti yang pasti.
Ketidakpastian itu disebabkan oleh begitu umumnya pengertian yang mau dicapai
atau dicari itu. Abstrac yang dimaksud di sini adalah kebahagiaan, dia tak kelihatan namun selalu dirasakan.
Kebahagiaan tidaklah memiliki arti yang pasti. jika orang mengatakan bahwa ia
bahagia maka ia sedang berada
dalam lingkup. Kebahagiaan
sangatlah subjektif. Apa yang menurut saya bahagia belum tentu dipandang
sebagai suatu kebahagiaan menurut orang lain. Kebahgiaan memiliki arti yang
sangat universal.
Misalnya saja; saya bahagia karena mendapat gebetan
baru, mendapatkan pekerjaan baru, dan memiliki rumah yang baru, dan lain sebagainya.
Semua ini dan contoh-contoh lain yang tidak disebutkan di sini merupakan de facto dari universalnya term eudaimonia.
Eudaimonia
berasal dari bahasa Yunani yang berarti kebahagiaan. Istilah ini secara
harafiah mengacu pada kebahagiaan oleh perlindungan daimon (roh, jiwa) yang murah hati.[1] Dalam
pengartian ini mau menunjukan bahwa jiwa selalu berkaitan erat dengan yang
disebut bahagia. Jika orang yang amburadul jiwanya tidak ada kemungkinan ia mencapai
kebahagiaan. Di lain pihak, saat orang mulai mengatur keterarahan jiwanya
kepada kebaikan maka ia akan mencapai arti kebahagiaan (yang memiliki arti subjektifitas).
Untuk mencapai suatu
kebahagiaan ada begitu banyak kemungkinan yang terkadang melegalkan segala cara untuk mencapainya. Orang
selalu menghubung-hubungkan bahwa yang nikmat itu selalu bahagia. Lalu
pertanyaannya sekarang adalah nikmat dalam taraf mana yang dapat kita sebut
sebagai suatu kebahagiaan. Apakah nikmat yang merugikan orang lain atau nikmat
yang dicapai dengan perjuangan sendiri tanpa merugikan orang lain. Kedua
kemungkian ini selalu ada dalam kehidupan bersama (sosialitas).
Untuk lebih jelasnya kita harus
tahu lebih dahulu aktor pencari kebahagiaan itu. Sudah pasti bahwa manusialah
aktor yang dimaksud. Maka dari itu perlu diulas dinamika hidup manusia dalam
mencari dan mencapai kebahagiaan.
Dinamika
Hidup Manusia
Manusia merupakan
makhluk yang berhadapan dengan diri sendiri dalam dunianya.[2] Ia
pada hakekatnya merupakan makhluk yang unik. Keunikan itu ditandai dengan
kelebihan yang dimilikinya yakni sebagai makhluk rasional. Selain itu, manusia sudah tahu siapa dirinya sebelum ia
bertanya tentang hal itu. Maka, jika ada orang yang mempertanyakan
identitasnya, dengan sendirinya ia belum sadar bahwa ia adalah seorang pribadi
yang ber-eksistensi.
Selain mamiliki
rasio manusia juga memiliki insting, tetapi hal ini tidak selalu dominan dalam diri
manusia (selalu ada
porsi dalam pengguanaannya).
Suatu perdebatan yang muncul dari zaman dahulu adalah soal Kesatuan. Apakah manusia hanyalah “Jiwa”
yang terpenjara dalam tubuh seperti yang diungkapakan Plato, atau “Badan yang
menjiwa”
dan
“jiwa
yang membadan”
seperti yang diungkapkan Thomas Aquinas. Atau perdebatan lain antara Pro-life dan
Pro-choice. Masing-masing memiliki pandangannya tersendiri. Pro-life menilai
bahwa manusia itu sudah ada sejak terjadinya pembuahan (pertemuan antara sperma dan sel telur), sedangkan pro-choice
mengatakan bahwa individu itu ada bukan setelah pembuahan melainkan setelah ia ada, dapat dilihat, dan dijamah.[3]
Maka, pada hakekatnya pro-choice lebih menekankan aspek kebebasan wanita. Jika
ia mau mnggugurkan si janin,
itu menjadi suatu
kebebasan yang tak dapat diganggu gugat. Semuanya karena foetus tidak hanyalah sebatas daging yang menjadi
parasit dan hinggap
pada
tubuh wanita. Perdebatan-perdebatan ini tidak dapat menjadi kesimpulan pasti
jika tidak ada klarifikasi. Manusia akan disebut sebagai manusia jika ada
kesatuan antara jiwa dan badan atau badan yang menjiwa. Jika keduanya tidak
menyatu maka yang ada hanyalah mayat
dan setan. Jiwa yang tak berbadan
adalah setan dan badan yang tak
berjiwa adalah mayat.
Layaknya pengertian
manusia yang terungkap di atas. Manusia selalu berhadapan dengan dirinya
sendiri terlebih dahulu sebelum berhadapan dengan orang lain. Setelah ia
menyadari identitasnya sebagai pribadi yang utuh maka ia akan dengan mudah
beradabtasi dengan pribadi-pribadi yang lain dalam lingkungan sosial (masuk dalam
rana sosial). Mengenal diri merupakan suatu tekanan
dan menjadi hal penting yang dibahas dalam ilmu psikologi. Identitas diri akan
menjadi penuh jika ada penghayatan secara khusus oleh pribadi yang
menghidupinya dalam korelasi dengan individu-individu lain. Jadi, untuk masuk dalam lingkup yang
lebih luas pertama-tama individu harus mengenal diri dan sadar betul akan
identitas dirinya itu.
Setelah seorang pribadi sadar akan dirinya ia
akan mulai masuk dalam lingkungan yang lebih luas yang tidak menutup
kemungkinan akan membentuk pula pribadinya. Manusia dalam pribadinya juga
merupakan human socious yang selalu
membutuhkan orang lain. Ia akan menyadari diri sebagai dirinya sendiri saat berkonfrontasi dengan orang lain.
Misalnya; saya sadar bahwa saya kecil, justru dalam konfrontasi dengan orang
yang lebih besar dari saya. Ada satu kesatuan yang tak terpisahkan di sana.
Seperti teori I-Thou-nya Martin
Buber. Kamu adalah Aku yang lain. Aku memahami diriku atau kepenuhan diriku di dalam
kamu. Kamu adalah bagian tak terpisahkan dari padaku.
Akhir dari dinamika
hidup manusia adalah menghadap Dia yang mengadakan kita. Seperti kata Aristoteles dan Thomas Aquinas bahwa
manuia pada hakekatnya berarak menuju yang Ideal atau Sang Ada yang tidak
diadakan. Sang Ada telah memberi waktu kepada manusia untuk
berdinamika selama ia masih hidup namun ada saat dimana ia mengambil kembali
khidupan itu. Maka, ada saat dimana manusia harus terpisah antara jiwa dan badanya.
Keterpisahan ini tidak dapat dipungkiri keberadaannya selain diterima sebagai
suatu jalan untuk kembali padanya. Layaknya apa yang dikatakan Plato bahwa
manusia akan mencapai kesempurnaan saat ia mencapai Dia yang Ideal.
Antara “Aku” dan Kebahagiaan
Setiap manusia pastilah
memiliki tujuan yang ingin dicapai di dalam hidupnya. Tujuan itu sudah ada dan yang dibutuhkan sekarang
adalah soal kemauan untuk mengambil dan menikmati tujuan itu. Manusia jika
ditanya siapa yang ingin menderita pasti semuanya menolak. Tetapi jika ditanya
siapa yang ingin bahagia, pasti semuanya akan mengacungkan tangan. Bahagia
dalam pandangan manusia secara umum adalah soal hidup enak, makanan terjamin
minuman tersedia. Manusia tidak sampai pada hakekat dari kebahagiaan yang
sesungguhnya. Kesungguhan arti dari kebahagiaan adalah soal pandangan pribadi
atau soal pandangan subjektif saja.
Kebahagiaan tidak
datang dengan sendirinya dan juga tidak ada melainkan butuh perjuangan untuk
menggapainya. Sebab bahagia
itu sudah ada namun seberapa besar manusia menggunakan kemampuannya untuk
menggapai yang ada itu. Perjuanganlah yang menjadi kunci untuk
mencapai kebahagiaannya. Jika
saya ingin bahagia tetapi tidak melakukan apa-apa sama halnya dengan menanam
pohon di padang gurun yang tak berair.
Untuk menggapai
kebahagiaan perlu ada ada
perjuangan. Memperjuangkan apa yang menjadi tujuan saya itu
dengan segala sarana tetapi tidak dengan melegalkan segala hal selagi masih ada opsi lain untuk itu. Menyadari identitas
diri merupakan salah satu aspek penting untuk menggapai tujuan yang diimpikan.
Jika pribadi yang masih bengkok
pemikirannya maka akan minim kemungkinan baginya untuk menggapai kebahagiaan.
Bagi kaum rohaniwan yang fanatik
penderitaan adalah suatu kebahagiaan bagi mereka. Lalu bagaima menjelaskan hal
itu sebab orang selalu mengidentikan kebahagiaan dengan perasaan nikmat dan bukan
derita. Hal ini pasti akan dilihat sebagai suatu bentuk ketololan yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk dilakukan. Tetapi kita kembali pada konsep kebahagiaan yang
selalu ada dalam koridor subjektifitas.
Kata Mereka Tentang Kebahagiaan
Kebahagiaan bukanlah
topik baru yang dibahas zaman ini tetapi sudah menjadi topik hangat sejak zaman
Yunani kuno. Setiap orang
dengan pemikirannya sendiri berusaha untuk mencari menalarkan apa itu kebahagiaan dan bagaimana cara
untuk mencapainya. Tema hangat ini dirangkum sedemikian
rupa oleh para
filosof Yunani kuno yang
bergelut dalam pencarian akan makna kebahagiaan zaman itu.
§ Sokrates
Ia mengatakan bahwa
kebahagiaan akan dicapai saat orang mulai masuk dan berjuang dalam kebenaran.[4]
Artinya bahwa orang dengan gigih memperjuangkan kebenaran untuk mencapai
bahagia dengan tuntunan rasio. Kebahagiaan
itu sudah ada dan yang dibutuhkan adalah perjuangan untuk mencapainya. Di saat
orang mulai berjuang untuk menggapainya orang tersebut mendekatkan dirinya pada
kebahagiaan itu.
Ia melihat orang
yang bahagia sebagai pribadi yang tenang daimon-nya.
Berjiwa tenang berarti orang tersebut sudah mengalami dan diam dalam apa yang disebutnya
bahagia.
§ Plato
Ia merupakan murid dari
Sokrates. Dengan demikian,
paling tidak ia sudah
mengerti tentang konsep kebahagiaan yang diajarkan oleh gurunya. Konsep yang
dia peroleh tidak serta merta dilihat sebagai suatu dogma namun ia mencoba untuk menyadur-nya dengan konsepnya secara pribadi.
Ia lebih menekanka
pada soal akal budi yang didorong oleh kekuatan dari dalam yang disebutnya
sebagai eros atau cinta.[5] Ia
melihat bahwa akal budi akan mencapai tujuan yang menjadi impian yakni
kebahagiaan jika didorong oleh cinta. Cinta dilihat sebagai pe-nyokong
akal budi
untuk mencapai kebahagiaan.
§ Aristoteles
Ia merupakan murid
Plato yang sudah bergulat bersamanya selama 20 tahun[6]. Mengambil
corak atau pola pikir sesuai dengan yang diajarkan oleh gurunya Ia mengatakan
bahwa orang akan mencapai kebahagiaan jika ia hidup di bawah terang akal budi.
Ia mengikuti pemikiran gurunya sebagai tokoh rasionalis. Hidup di bawah bimbingan akal budi akan membawa orang
pada hidup yang berkeutamaan. Konsep keutamaan yang ia maksudkan adalah soal
pola hidup yang selalu mengarah pada hidup yang baik. Hal inilah yang baginya
akan mengarahkan orang pada kebahagiaan.
Hidup bahagia yang
dibimbing oleh akal budi selalu tidak serta merta hanya untuk mendapatkan
kebahagiaan saja namun ada dasar yang ingin dan mau dicapai. Itulah yang ia
sebut sebagai tujuan. Tujuan itu tidak lain adalah untuk mencapai kehidupan yang bernilai yang di dalamnya terkandung kebahagiaan.
Hidup bahagia tidak dapat disangkal bahwa selalu menjadi impian dari setiap
individu. Ia membagi tujuan hidup menusia itu menjadi dua macam yakni tujuan
sementara dan tujuan terakhir.[7]
Tujuan sementara hanyalah sarana untuk mencapai tujuan yang lebih lanjut atau
tujuan terakhir.
Simpulan
Menjadi bahagia bukan
soal takdir melainkan soal perjuangan dan kemauan untuk masuk dalam kebahagiaan
itu. Manusia sebagai aktor utama pencari kebahagiaan hendaknya mulai
memilah-milah mana yang perlu dan mana yang tidak perlu. Dalam artian bahwa
manusia menentukan
batas mana atau sejauh mana ia membutuhkan kebahagiaan. Ia harus berani membedakan antara
kebutuhan dan keinginan. Jika Ia benar-benar butuh untuk hidup bahagia pasti ia memperjuangkannya, namun sebaliknya, jika ia hanya ingin berarti ada
kemungkinan baginya untuk tidak melakukan suatu tindakan yang berarti apalagi memperjuangkannya.
Untuk mencapai bahagia
manusia membutuhkan sarana. Semua yang mengarahkan kepada tujuan atau nilai
yang mau dicapai adalah sarana kecuali sesama manusia yang adalah pertner untuk menggapai kebahagiaan atau
nilai. Manusia juga membutuhkan orang
lain selain ia fokus dengan dirinya sendiri, sebab dari orang lainlah manusia
boleh belajar untuk berjuang dan mengenali dirinya lebih sungguh (khususnya
keunikan dan kelebihannya). Maka dari itu, kebahagiaan akan tercapai jika
manusia masuk dalam dinamika hidup dalam perjalanan menuju suatu nilai yang
diimpikan. Jika manusia tidak masuk dinamika hidup dengan sendirinya ia
mengarahkan dirinya pada suatu kehampaan tanpa arah dan tujuan.
0 Comments