HUKUM:
MENUNTUN MENDIDIK ATAU MENGASUH MEMBESARKAN
BAB
I
PENDAHULUAN
Pengantar
Saat Ir. Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok dinobatkan menjadi Gubernur DKI muncul macam-macam gerakan yang bisa
diakatakan sebagai gerakan pesimistis. Perasaan ini awalnya berlandas pada isu
agama yakni latar belakang keyakinan Ahok yang adalah seorang Kristen yang
memerintah di kalangan Muslim. Akhir-akhir ini muncul isu yang lebih mengerikan
lagi bagi masyarakat yakni mengenai “Dana
Siluman[1]”
yang dihubungkan dengan dana APBD Provinsi DKI Jakarta.
Berbicara soal dana
siluman, dalam sebuah acara yang ditayangkan di Kompas TV berjudul Aimin dibahas
beberapa masalah seputar dana yang diduga masuk atau berasal dari APBD. Dana
yang tidak jelas arahnya dan
dari mana datangnya. Mengenai hal ini dalam acara tersebut ditampilkan beberapa
sekolah yang menerima
bantuan
yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, misalnya; SMA 25 menolak 4 kali untuk menerima UPS, namun Dinas Pendidikan memaksa pihak
sekolah untuk menerima UPS, SMKN 3 Jakarta Minta genset dikasih UPS @ Rp 5,83
M, SMA 10 terima UPS Rp 5,8 M setelah mengisi formulir dari Disdik DKI, SMAN 24
Jakarta tak tahu cara operasikan UPS seharga Rp 5,82 M, Di SMAN 24, kepsek
dipaksa tandatangan terima alat UPS, Minta tambah daya listrik, SMA 27 malah
dikirim UPS Rp 5,83 M[2].
Lain yang diminta lain yang dikirim ini sama halnya dengan sakit kepala diberi obat sakit perut.
Padahal berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kompas TV dalam acara Aimin ada
beberapa sekolah
yang lebih menbutuhkan renovasi ketimbang alat-alat yang lain seperti SMA N 6
Jakarta yang membutuhkan renovasi sekolah malah mendapatkan peralatan fitnes
dan juga SMA 55 membutuhkan biaya renovasi sebesar Rp 3 M dengan menolak alat
fitnes serta sekolah-sekolah lain yang mendapatkan hal yang sama.
Ketika Basuki alias
Ahok memublikasikan hasil RAPBD tahun 2015 DPR-pun melakukan hal yang sama.
Sebanarnya apa yang melatarbelakangi hal ini. Penulis menilai bahwa seandainya
kesalahan
penempatan dana atau terjadi penggelapan dana maka akan terjadi hal yang
demikian nisbi. Prinsip yang dipegang
oleh Ahok dalam
proses penyelesaian maslah ini adalah membiarkan rakyat yang menilai mana yang asli
dan mana yang palsu, mana yang jujur dan mana yang menipu. Dalam hal ini Ahok
ingin melibatkan masyarakat dalam proses penilaian antara yang benar dan salah,
baik dan buruk. Hanura: Hati Nurani Rakyat yang merupakan nama dari salah satu partai politik mulai
menebar sayap
(tebaran sayabnya yang dimaksud adalah
singkatan Hati Nurani Rakyat bukan parpol-nya).
Penulis melihat bahwa dalam taraf ini masyarakat dilibatkan untuk menilai
tetapi untuk kedepannya penulis tidak dapat membangun hipotesa baru.
Berdasarkan pernyataan
dan contoh-contoh di atas penulis ingin mengupas dan mengulas sedikit mengenai
hakekat dari Hukum itu sendiri yakni hukum yang aktif dalam Menuntun Mendidk masyarakat atau
sebaliknya, dibandingkan dengan hukum yang aktif Mengasuh Membesarkan sesuai
dengan integritas pemimpin. Dalam taraf inilah dapat dinilai pemimpin seperti
apa yang dibutuhkan saat ini dan sejauh mana pemerintah melibatkan masyarakat
yang menurut Aquinas adalah subjek hukum dalam perjalanan kepemerintahan.
BAB II
HUKUM: MENUNTUN MENDIDIK ATAU
MENGASUH MEMBESARKAN
A.
Pengertian
Hukum dan Pemaknaan
Hukum dalam pengertian secara
umum merupakan
kaidah atau patokan tentang sesuatu misalnya hitungan, alam dll[3].
Hukum dipandang sebagai kompas (penunjuk arah) bagi masyarakat yang diwakili oleh para pemimpin yang sering
disebut sebagai “wakil
rakyat”.
Hukum dibentuk dalam sebuah musyawarah atau mufakat yang melibatkan seluruh
masyarakat melalui para wakil-nya.
Semua keluhan dan aspirasi masyarakat dirangkum sedemikian rupa kemudian
diangkat dalam musyawarah ini.
Hukum yang dubentuk selalu punya tujuan yang tulus dan murni yakni tecantum
dalam UUD (konstitusi) negara kita, maupun pancasila yakni: Demi keadilan
sosial dan kesejahteraan seluruh masyarakat. Tujuan ini sangat mulia terungkap
dari setiap wakil rakyat karena mereka selalu berbicara atas nama rakyat. Namun
apakah hukum hanya sebatas ini?
Sebenarnya saat kita mulai mendeskripsikan hukum kita sudah mulai masuk
dan terlibat dalam dunia politik praktis. Terlibat dalam arti bahwa setiap
masyarakat mulai membangun rasa ingin tahu terhadap hukum yang mengatur mereka.
Praktis karena hukum mengandung arti dan makna yang sangat luas, tergantung
dari perspektif mana kita membangun persepsi. Seperti hukum dalam pengertian
kitab suci selalu dilihat sebagai peraturan dan perintah[4]
sehingga barang siapa yang melihatnya mulai berbenah diri dengan mengatur dan
memerintah diri sendiri.
Cakupan dalam dunia politik sangatlah kolektif. Kita dapat memetakan
segala sesuatu dengan yang lain karena ada yang lain. Contoh konkret yang dapat
kita ambil adalah seorang pemimpin akan sadar dirinya sebagai pemimpin karena
ada anggota-anggotanya, seorang masyrakat sadar bahwa ia adalah masyarakat
karena ada pemimpin atau wakil-nya. Menurut Plato manusia adalah zoon politikon[5]
atau makhluk berpolitik yang selalu membangun persepsi mengenai segala sesuatu.
Dalam sebuah artikel dituliskan bahwa hukum itu selalu berkaitan erat
dengan hakim. Penjelasan ini memuat enam (6) aspek yang harus dipegang oleh
seorang hakim saat memutuskan hukum diantaranya, pertama: keputusan
hakim merupakan gambaran proses kehidupan sosial sebagai bagian dari kontrol sosial kedua:putusan hakim merupakan penjelmaan dari
hukum yang berlaku dan pada intinya berguna untuk setiap orang, kelompok maupun
untuk negara ketiga: putusan
hakim merupakan gambaran keseimbangan antara ketentuan hukum dengan kenyataan
di lapangan keempat: putusan
hakim merupakan gambaran kesadaran yang ideal antara hukum dan perubahan sosial
kelima: putusan hakim harus
bermanfaat bagi setiap orang yang berperkara keenam: putusan hakim hendaknya tidak
menimbulkan konflik baru bagi para pihak yang berperkara dan masyarakat[6].
Seorang pribadi dapat memaknai hukum jika ia
masuk di dalamnya. Orang yang menhayati hukum untuk kepentingan umum berarti ia
mengerti dan memaknai hakekat dari hukum itu sendiri namun jika ia mencari
integritas pribadi maka ia belum bahkan kurang mnengerti dan memaknai arti
hukum. Karena tidak mungkin seorang yang tidak fasih dalam hukum dapat
merancang sebuah hukum dengan baik dan benar. Oleha karena itu hukum itu dapat
diartikan sedemikian rupa karena setiap orang selalu melihatnya dari sudut
pandang yang berbeda namun apakah hukum yang mereka artika itu dapat mereka
hidupi atau hanya sebatas pengertia yang habis diartikan kemudian sirnah.
B.
Hukum
itu Menuntun
Mendidik
Setiap orang pastilah mempunyai visi dan misi maupun
rencana dan rancangan untuk mencapainya (visi
dan misi itu). Hukum pun memiliki visi dan misi yang demikian. Ada dua
macam visi dan misi yang diangkat dalam makalah ini dari sekian banyak visi
misi yakni “menuntun dan mendidik”. Hukum memiliki fungsi untuk mengarahkan,
menuntun dan mendidik masyarakat. Tujuannya yang paling luhur adalah demi
kesejahteraan masyarakat.
Kembali pada tujuan awal pembentukan hukum yakni untuk
mengatur tatanan negara agar mampu mencapai apa yang dicita-citakan, hukum
hendaknya berjalan dalam rana keadilan. Masyarakat memandang hukum sebagai
hukum sebab hukum menurut mereka tidak dapat diganggu gugat lagi, yang dalam
Gereja dikenal sebagai dogma[7]
yang “benar” boleh bebas dan yang
“salah” harus dihukum. Dinamika ini dianggap sah oleh masyarakat umum baik yang
hidup zaman dulu maupun sekarang khususnya mereka yang yang ada di pinggiran.
Pemimpin sebagai wakil rakyat selalu memetingkan
kehidupan dan kepentingan bersama dibandingkan dengan kepentingan diri sendiri.
penulis merasa terganggu saat mendengar sharing dari masyarakat pedesaan bahwa:
para koruptor itu kan “makan” uang negara. Mereka tidak begitu paham soal
korupsi yang sebenarnya menghabiskan uang rakyat sendiri. jika demikian
diamakah Demokrasi kita dan sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat. Saat ini sloga tersebut telah diubah menjadi dari rakyat, oleh rakyat,
untuk elit.
Utuk lebih dekat dengan masalah korupsi hendaknya kita
tahu asal kata dari korupsi itu sendiri. Korupsi berasal dari bahasa Latin “corruptio” dengan kata kerja compere yang berarti merusak atau secara
harafiah dapat diartikan sebagai tindakan penyelewengan atau penggelapan[8]
misalnya uang, dll. Kata ini bertolak belakang dengan kata Integritas dari
bahasa Ingris-nya Integrity yang
berarti tidak rusak, murni, utuh, jujur, dan dapat dipercaya atau diandalkan[9].
Berkaca pada kedua kata yang saling bertolak belakang korupsi terjadi karena
orang atau pemimpin kehilangan integritas diri (lose integrity). Orang yang kehilangan integritas diri akan sulit
untuk membangun integritas publik. Integritas pribadi atau individu sangatlah
dibutuhkan agar seorang pemimpin mampu membangun integritas publik. Landasan
atau dasar integritas publik harus berasal dari integritas pribadi (diri).
Hukum akan berjalan pada jalurnya jika pemimpin sadar
betul akan integritas dirinya bahwa yang ia atur dan ia tuntun bukan dirinya
sendiri melainkan banyak orang yang mencakup lingkungan sosial, maka kehilangan
integritas akan menimbulkan kemandekan dan kehilangan arah dalam menjalankan
aktifitas hukum.
C.
Mengapa Mengasuh
Membesarkan
Kasus yang paling besar dan merajalela di negara kita sekarang ini
adalah korupsi. Indonesia mendapatkan peringkat korupsi yang cukup mengagumkan
yakni urutan ke 114 dari 175 negara korup[10].
Korupsi tidak lgi dipandang sebagi sesuatu yang “tabu” namun sebaliknya dipandang
sebagai aktifitas yang biasa-biasa saja. Kasu century, korupsi oleh menteri
agama dll merupakan contoh konkret tindak korupsi yang hidup dalam lingkungan
kita saat ini. apakah mereka yang korupsi itu miskin? Jawabannya “tidak” mereka
kekurangan? “tidak” lalu apa? Mereka hanya kehilangan integritas, keinginan
mereka hanya untuk menikmati sesuatu sendiri tanpa mementingkan kepentingan
sosial.
Sebagai negara hukum Indonesia juga telah berupaya sedemikian rupa untuk
membasmi kasusu tindak korupsi namun apa yang terjadi, saat ini korupsi masih
mengibarkan sayapnya di negara ini. munculnya KPK tidak serta merta membasmi
korupsi tetapi juga dapat dikatakan “memicu masalah baru”. Orang tidak begitu
setuju dengan kehadiran KPK sebab lingkup mereka terasa terhambat.
Pertanyaannya dimanakah hukum kita? Hukum kita tidak lagi menuntun mendidik tetapi mengasuh
membesarkan para koruptor untuk terus menikmati uang rakyat. Banyak orang
berargumen bahwa koruptor jika hanya dimasukan ke dalam penjara tidaklah ideal
karena saat mereka keluar mereka masih akan menikmati uang yang telah mereka
simpan sekian tahun. Labih baik semua harta bendanya disita sebagi efek jera
agar mereka juga bisa merasakan apa artinya menderita.
Dalam menangani kasus seperti ini hukum seakan tak mampu berbicara.
Hukum seakan ditutup mulutnya dan diperuntukan bagi wong cilik sedangkan negara diperuntukan bagi wong gedhe[11].
Artinya bahwa bicara hukum berarti objeknya jelas yakni masyarakat dan pada
saat bicara soal negara itu khusus untuk kaum elit. Pertanyaannya apakah hukum
tak mampu mangatur nagara? Jawabanya: ya, karena negaralah yang mengatur hukum.
Negara tak mampu bicara namun terus mengasuh dan membesarkan “para
koruptor”. Kotuptor tak mampu dihukum karena rasa ewuh pakewuh[12]
masih terus dibina. Mereka tidak dapat dihukum karena mereka adalah teman saya.
Pantaskah negara kita diberi slogan negara hukum jika dalam menegakan hukum
selalu tidak adil. Bukankah hukum itu selalu adil dan jika hukum itu tidak adil
maka itu bukan hukum. Keadilan akan ada jika rasa ewuh pakewuh dibuang atau
dieliminasi dari kehidupan berpolitik. Meminjam kata-kata Jokowi bahwa sekarang
yang dibutuhkan adalah revolusi mental agar setiap orang mampu menghidupi
integritas pribadinya. Sistem hukum kita sudah pasti namun pribadi yang
menjalankan hukum kitalah yang tidak punya kepastian. Oleh karena itu yang kita
butuhkan saat ini adalah revolusi mental untuk para pemimpin dan para kuasa
hukum bukan revolusi sitem. Sebab jika sistem diubah dan pribadinya tidak
diubah maka sia-sialah diadakan perubahan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum pada hakekatnya merupakan pengatur dan penujuk
arah bagi masyarakat. Hukum yang tertuang dalam konstitusi kita (UUD) dan
sila-sila Pancasila merangkum segala hal yang patut dijalankan oleh setiap
warga negara. Manusia yang merupakan subjek hukum[13]
hendaknya diatur sebagai subjek dan bukan objek hukum sebab kebanyakan masalah
muncul dikarenakan penempatan manusia sebagai objek dari hukum termasuk juga
korupsi.
Menurut Hannah Arendt hukum atau politik ada karena
adanya individu yang berbeda[14].
Oleh karena ada perbedaan maka munculah komunikasi dan awal dari hukum dan
politik adalah komunikasi atau saat manusia masuk dalam tahap dialog. Arendt
juga membedakan aktifitas politik dalam tiga kategori kegiatan manusia yakni:
kerja (arbeiten), produksi (herstellen), dan aksi politik (handeln). Ketiganya selalu berjalan
seiring agar pamimpin dan para kuasa hukum mengerti akan artinya kepentingan
sosial. Kerja untuk rakyat sebab kita wakil rakyat, memproduksi segala hal
untuk rakyat tetapi bukan produksi korupsi dan beraksi dalam dunia politik juga
untuk kepentingan rakyat.
Pencapaian demokrasi yang sejati akan ada jika orang
mulai menyadari dari hal yang paling dasar yakni integritas dari dirinya. Ada
sebuah alegori 4 M yang bisa juga digunakan oleh para pemimpin untuk berkiprah
dalam rana sosial politik. Mengenal diri, memahami diri, menerima diri, dan
membawa diri. Ke-empat kriteria ini jika disadari oleh setiap pribadi maka
hukum akan berjalan dengan baik karena setiap pribadi sadar bahwa kehidupannya
saat ini bukan dalam kesendirin tetapi dalam lingkup sosial.
Oleh karena itu membongkar seluk beluk kehidupan
politik memang tidaklha mudah namun landasan utamanya adalah lesadaran akan
integritas diri dan menjunjung tinggi makna kepemimpinan yang bukan untuk
kepentingan priadi tetapi untuk kepentingan umum. Semua ini akan terjadi jika
semua manusia hidup sebagai manusia yang subjektif dan bukan objektif sebab
manusia adalah subjek hukum dan bukan objek hukum. Hukum selalu diciptakan
untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Tidak ada perbedaan status sosial
dalam menegakan hukum sebab jika ada maka hukum akan menyimpang dari hakekatnya
yang adil terhadap semua orang yang berstatus masyarakat. Hukum itu akan
disebut hukum jika hukum itu adil.
Daftar Pustaka:
1.
Martinus,
surawan,
2001 kamus
kata serapan, PT
gramedia pustaka utama, Jakarta, 235-236.
2. Dikutip dari kamus singkat kitab suci komunitas
kristiani, claretian publications, 593.
3. Madung, otto gusti, viii
2009, politik antara legalitas dan
moralitas, ledalero: maumere
6.
Fence
m wantu, artikel: mewujudkan kepastian
hukum,keadilan dan kemafaatan dalam putusan hakim di peradilan perdata,
jurnal dinamika hukum: gorontalo, 2012.
7.
Terminologi “Dogma”
(dari bahasa Yunani, bentuk jamak dalam
bahasa Yunani dan Inggris kadangkala dogmata)
adalah kepercayaan atau doktrin
yang dipegang oleh sebuah agama
atau organisasi
yang sejenis untuk bisa lebih otoritatif. Bukti,
analisis, atau fakta mungkin digunakan, mungkin tidak, tergantung penggunaan.
8.
Haryatmoko,
2011, etika
publik, kompas gramedia: Jakarta, 72.
10. Susetyo, benny,
2004, hancurnya
etika politik, kompas
gramedia: Jakarta, 108 dan 126.
11. Sumaryono, E,
2002,etika dan hukum relevansi teori hukum kodrat
Thomas ASquinas, kanisius: yogyakarta, 243.
[1] Dana siluman dapat diartikan
dalam dua versi yakni pertama: "dana siluman" diartikan
sebagai dana yang disisipkan oleh para anggota DPRD sebuah provinsi ke APBD
mereka dengan maksud untuk memenuhi kepentingan mereka atau kasarnya dana yang
dititipan anggota dewan. Kedua: "dana siluman" muncul
saat APBD telah disetujui oleh DPRD dan Pemprov dan sudah diserahkan ke
Kementerian Dalam Negeri, tapi secara tiba-tiba program-program baru yang tidak
ada dalam APBD dimasukkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab atau dengan
kata lain ada program baru yang muncul di luar program-program yang sudah
ditetapkan. Dikutip dari Jakarta, CNN Indonesia http://www.cnnindonesia.com/nasional tangal 7 april 2015 pukul 21:00.
[2] Dikutip dari Jakarta,
Riaugreen.Com, http://riaugreen.com dengan judul berita Pengakuan
Beberapa Sekolah di Jakarta dipaksa terima UPS.
[6] Fence m
wantu, artikel: mewujudkan kepastian
hukum,keadilan dan kemafaatan dalam putusan hakim di peradilan perdata,
jurnal dinamika hukum: gorontalo, 2012.
[7] Dogma (dari bahasa Yunani, bentuk jamak dalam bahasa Yunani dan Inggris
kadangkala dogmata) adalah kepercayaan atau doktrin yang dipegang oleh sebuah agama atau
organisasi
yang sejenis untuk bisa lebih otoritatif. Bukti, analisis, atau fakta mungkin
digunakan, mungkin tidak, tergantung penggunaan.
[13] E sumaryono, etika dan hukum relevansi teori hukum kodrat
Thomas ASquinas, kanisius: yogyakarta, 2002, 243.
0 Comments