KENYATAAN DAN KESALINGAN DALAM AJARAN BUDHA

Ø  Ada yang Tertinggi
            Di dalam ajaran budha sangat sulit ditemukan pernyataan yang menerangkan secara eksplisit Allah sebagai pribadi. Budhisme menitikberatkan pandagannya bahwa Allah berada di atas bahasa. Hal ini mau menunjukan bahwa Budha yang adalah agama non-abrahamik dalam konteks ini tidak mengakui Allah sebagai persona atau pribadi  atau person sebab Allah itu berada di atas segalanya melampaui bahasa (adikodrati). Ada dua macam alasan praktis yang bisa menjelaskan sekaligus memperkuat argumen ini. Pertama, anggapan ini memuat segi positif diantarannya mengurangi bahaya bahwa Allah didalangi atau digunakan demi kebutuhan egoistis manusia. Kedua, segi negatifnya, bahwa tidak ada kemungkinan untuk mendekati Allah secara manusiawi[1]. Hal ini yang menjadi pebedaan khas antara agama Budha dan agama-agama Abrahamik (khususnya Katolik) yang mengakui Allah sebagai pribadi yang dapat didekati dengan kekurangan dan kelemahan manusia ciptaan-Nya.
            Ide tentang Ada yang tertinggi (Allah) dalam agama Hindu-Budha sukar ditentukan nilai-nilainya, karena yang menyatukan mereka bukan tanggapan mengenai Allah melainkan ide-ide mereka tentang hidup yang menyangkut keseluruhan kepribadian manusia.[2] Oleh karena itu menjadi satu pemasalahan di sini, yakni soal penghayatan akan sila pertama pancasila di negara kita, Ketuhanan yang Maha Esa. Akan menjadi masalah bagi mereka yang menganut kepercayaan non-abrahamik. Mereka mengakui yang maha tinggi sebagai Allah yang maha Esa sesuai dengan tuntutan ideologi bangsa kita dan hanya sebatas itu. Sedangkan kelanjutan atau interpretasi selanjutnya mengenai siapa itu Allah atau pribadi Allah sangat sulit didiskusikan bersama mereka.
            Ada tertinggi dalam agama Budha yang tidak dihayati sebagai persona mendapat tempat dan pengakuan dalam hal yang lain, yakni saat orang mencapai pencerahan sebagai yang terakhir dari pencarian hidup di dalam kehidupan spiritualnya yang dalam ajaran Theravada disebut Arhat (pribadi yang telah mencapai pencerahan tertinggi) ajaran Mahayana Bodhisatwa. Di dalam Budha pencerahan dicapai dengan cara melakukan meditasi yang intens, yakni menenangkan dan menetralisir pikiran, hati dan nafsu untuk mencari dan memperoleh kuasa. Orang yang mencapai pencerahan adalah orang yang benar-benar terhindar dari hal-hal duniawi tersebut. Nibana atau Nirwana adalah tempat bagi mereka yang telah mencapai pencerahan itu.

Ø  Alam Semesta
            Terjadi sebuah perdebatan yang panjang saat Darwin muncul dengan teori evolusinya yang cukup menggemparkan. Hal senada pun terjadi dengan pandangan agama Budha mengenai kenaytaan hidup (dalam agama kristen diakui sebagai penciptaan) jika ditilik berdasarkan perspektif Kristiani. Budha yang tidak mengakui Allah sebagai persona (yang dalam agama katolik bertindak sebagai pencipta) memiliki pandangan lain yang beroposisi dengan dengan pandangan kristiani. Alam semesta awalnya merupakan sebuah kekosongan dan segala kenyataan yang ada dan terjadi di dalamnya ada berdasarkan hukumnya sendiri. Dapat disebutkan di sini:
·         Alam terjadi (ada) karena hukum alam (entah bagaimana prosesnya karena tidak ada penjelasan secara mendetail mengenai hal itu) namun terjadinya alam itu karena hukum yang mengaturnya.
·         Hukum tumbuh-tumbuhan, memunculkan adanya tumbuh-tumbuhan yang menghiasi alam semesta yang kosong.
·         Hukum pikiran, merupakan keadaan yang mengatur jalannya pikiran manusia yang mendiami alam semesta.
·         Hukum perbuatan/norma, yang mengatur jalannya setiap perilaku individu yang mengembara di alam ini.
            Hukum-hukum inilah yang memunculkan segala sesuatu yang ada di alam ini berdasarkan pada hukum kausalitas[3]. Sebab memunculkan akibat dan akibat itu memunculkan akibat yang lain. Oleh karena itu alam semesta tidaklah statis sepertinya adanya namun dinamis yang bergerak terus-menerus akibat hukum kausalitas yang terus berjalan.
Manusia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari alam semesta. Manusia berada di dalam alam semesta dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu menjadi sulit untuk dibayangkan mengenai penciptaan dan hal itu juga tidak ditemukan dalam ajaran Budha, jika dibandingkan dengan penciptaan yang diakui oleh agama katolik. Pendasaran dari setiap agama mengandung unsur teologisnya tersendiri, contohnya agama katolik yang menampilkan sosok Allah sebagai seorang pribadi yang mencipta alam semesta beserta isinya mau menampilkan pribadi Allah yang empunya kuasa. Sedangkan agama Budha yang menampilkan kenyataan dalam perspektif yang lain mau menunjukkan ketidakterpisahan antara manusia dengan alam semesta. Ada hubungan kesalingan di sana. Perputaran hidup manusia yang terus menerus terjadi mulai dari hidupnya, reinkarnasi sampai manusia itu mencapai Nirwana/Nibana dan terhindar dari segala hukum karma.

Ø  Hubungan Manusia dengan Makhluk-makhluk lain
            Ketidakterpisahan manusia dengan alam semesta memunculkan suatu hubungan kesalingan yang saling mempengaruhi. Hal ini mau menunjukan adanya kesetaraan antara sesama kenyataan. Tidak ada satu kenyataan yang lebih “mendominasi” kenyataan yang lain. Sehingga di dalam kehidupan bermasyarakat terutama dalam konfrontasi dengan agama Budha terlihat jelas perbedaan khususnya di dalam penghargaan dan perhatian pada kenyataan-kenyataan yang lain. Contoh; orang budha yang mencintai kenyataan lain dengan tidak makan daging, tidak membunuh binatang dll.
            Namun, setelah ditelisisk lebih jauh ternyata tidak semua ajaran Budha yang tidak makan daging walaupun di dalam pancha sila budha melarang hal ini. Kurang lebih ada tiga hal yang menjadi pedoman atau alasan pokok orang budha boleh makan daging. Diantaranya tidak melihat saat binatang itu dibunuh, mendengar bahwa binatang itu dibunuh untuknya dan mencurigai binatang itu mau dipersembahkan kepadanya. Sebaliknya jika sang budha melihat, mendengar dan menaruh curiga seperti hal-hal di atas maka denga sendirinya ia tidak boleh makan daging sama sekali.
            “Peri kehidupan yang layak” merupakan salah satu tuntutan dari jalan suci dalam agama Budha.[4] Kelayakan hidup budhisme tidak hanya terletak pada aspek ekonomi saja seperti yang dipaparkan oleh E.F. Schumacher dalam artikelnya tentang “Pandangan Ekonomi Budha” tetapi juga soal kesetaraan antara manusia dengan ciptaan yang lain yang membentuk dan membangun suatu hubungan kesalingan dalam kahidupan seorang budha. Bertolak dari pandangan budhisme mengenai alam semesta, maka dapat dibangun suatu pandangan baru mengenai kekuatan hukum-hukum setiap pengada. Hukum-hukum yang mengadakan segala sesuatu di alam ini membangun pola timbal-balik. Sehingga tidak heran jika para penganut budha sangat bijaksana di dalam membangun hubungan atau relasi dengan makhluk-makhluk lain atau kenyataan-kenyatan yang lain. Sebuah argumen berbunyi demikian; agama Budha itu anti kekerasan (kecuali kekerasan yang terjadi di Myanmar akhir-akhir ini) dan dalam pelestarian (lingkungan dan ajarannya) dilaksanakan secara damai.[5]

Ø  Hubungan Manusia Dengan Sesama dalam Kehidupan Bermasyarakat
            Di dalam hubungan kesalingan yang dihidupi di dalama agama Budha meninggalkan kesan positif dalam kehidupan bersama. Ada pendapat yang menegaskan bahwa di tempat mana saja agama Budha berkembang selalu meninggalakan kebudayaan yang bernilai tinggi.[6] Landasan dari hal ini adalah soal ketenagan dan kematangan dari para penganutnya yang diekspresikan dalam bentuk seni-seni budhis. Contoh konkret yang ada pada kita sekarang adalah candi Mendut dan candi Borobudur yang merupakan peninggalan khas Budha.
            Di sisi lain budha sangat sedikit yang terlibat atau terjun ke dalam bidang politik[7] dan sebaliknya lebih menitikberatkan pada perkembangan agama. Di sini mulai nampak perbedaan di dalam budha. Budha Theravada lebih fokus pada aspek spiritual dan Budha Mahayana lebih fokus pada keterlibatan sosial. Djotidamo yang berujar bahwa Theravada lebih dekat pada ajaran budha yang origin dapat dipersoalkan di sini. Mengapa ada blok-blok yang membedakan para penganut budha? Apakah dengan ini orang akan mencapai pencerahan seperti yang dicita-citakan? Namun perlu diingat bahwa pencerahan itu soal kedalaman spiritual seseorang. Walapun nantinya pencapaian pencerahan itu secara pribadi (Theravada), namun hubungan kesalingan pun tampak di sana (Mahayana) yang membantu ciptaan lain untuk mencapai pencerahan juga. Sehingga pandangan soal keterlibatan budha (penganut) tidak dapat dikaji hanya dalam satu aspek melainkan di dalam keseluruhan aspek yang membentuk hubungan kesalingan.
            “Semua makhluk takut akan bahaya, hidup itu berharga untuk semua makhluk, ketika seseorang mengerti akan hal ini, maka ia tidak akan membunuh atau menyebabkan pembunuhan,” (The Budha Dhamapada 129). Di sini terlihat jelas hubungan kesalngan yang harmonis di antara semua kenyataan yang ada di alam semesta ini. Manusia dan kenyataan-kenyataan yang lain tidak dapat dilepas-pisahkan dari alam semesta. Hubungan kesalingan itu berlanjut dengan adanya pandangan bahwa kenyataan yang lain itu juga merupakan “sentient beings” yang kenyataannya tidak berbeda jauh dengan manusia. Oleh karena itu  keharmonisan para penganut budha dalam hubungan dengan kenyataan yang lain dalam hubungan kesalingan memberi dan mebentuk sebuah makna baru akan kedalaman dari ajaran yang dihidupi, sehingga di mana ada budha di sana pasti ada ketenagan dan kedamaian.



                [1] Theo Huijbers, Mencari Allah pengatar ke dalam filsafat ketuhanan, Kanisius, Yogyakarta: 1992. 20

                [2] Theo Huijbers, 20
                [3] Dikutip dari pemaparan Djotidamo pada saat kunjunngan ke Wihara Mendut pada tanggal 19 september 2015.
                [4]  Imam Ahmad, Agama dan Tantangan Zaman, LP3ES, Jakarta: 1985. 80
                [5] Moch. Qasim Mathar, Sejarah, Teologi, dan Etika agama-agama, Interfidei, Yogyakarta: 2003. 34
                [6] Moch. Qasim Mathar, 34
                [7] Moch. Qasim Mathar, 34